Yogyakarta – Jatisrono : Keringat dan Debu Berbaur
6 Juni 2016
3 Hari di Jatisrono
Hai keluarga, Mamih Miramiut, Papih Adam, dan si kecil Abraham kembali lagi, masih dalam episode travelling dengan sebuah kebahagiaan tentunya. Berlanjut dari postinganya sebelumnya dengan tips juga trik travelling dalam tulisan Travelling Keluarga , saya melanjutkan tulisan selanjutnya. Yap dimana kami akan melakukan perjalanan ke Jatisrono untuk mengunjungi sanak keluarga, juga nyekar ke makam Ayah saya disana.
Bahagianya Abraham saat di perjalanan |
Setelah keliling Candi Prambanan di siang yang cukup cerah dan meneteskan keringat, sepertinya tetesan akan menjadi lebih deras, ketika kami makan siang dengan mie khas Yogya dengan menambahkan sambel yang ternyata sangat pedas. Saya dan suami bergantian memberikan makanan untuk Abraham tetapi bukan mie pedas tadi loh,yakni biskuit renyah dan juga buah yang sudah saya siapkan. Biskuit tersebut ternyata sangat disukai oleh Abraham, karena belum ada gigi yang tumbuh ia hanya mengemut-emut biskuit tersebut, biskuit yang rasanya seperti jipang kalau menurut saya, tapi tidak gurih, dan ada gambar bayi bule di kardusnya.
Saatnya kami memboyong gembolan keril, backpack juga tas kecil, sambil menunggu bus di halte dekat lampu merah. Cuaca yang cukup terang membuat muka Abraham makin memerah dan hembusan debu kendaraan seperti bus juga truk membuat perjalanan ini kurang sedap. setelah menunggu sekitar 10 menit bus datang dengan kecepatan yang tidak melambat dan berhenti lumayan jauh di tempat pemberentian, jadi kami lari-lari mengejar bus tersebut karena memang bus akan langsung jalan, tidak manja menunggu kami. Hahay beban gak terasa saat lari tetapi ketika kami duduk lumayan menarik nafas cepat dan dag dig dug jantung terdengar lebih ngebut. Hmm saat kejadian lari tadi Abraham tertawa dan membuat lelah kami hilang, akhirnya saya bermain cilukba dengan Abraham dan Papih membereskan perlengkapan kami.
Jarak tempuh lumayan memakan waktu sekitar 2 jam dan teriakan kondektur, laju bus yang tak beraturan membuat kami mual. Abraham agar rewel dan sepertinya haus ingin minum ASI, banyak sekali penumpang yang berdiri, dan saya agak risih tak terbiasa menggunakan apron, lagi pula di dalam bus agak panas menggunakan AC alam. Membayangkan memberi ASI dengan hawa sejul penuh dengan sandaran empuk tak seperti kenyataan, terkadang saya harus melewati hal yang tak terduga. Sebenarnya kalau menyoal mendorong motor yang mogok berkali-kali dalam kegelapan kami berdua bisa bertaha, tapi sekarang ada si kecil yang harus di pikirkan seluruh kondisi dan kenyamanannya. Sudah dipastikan Abraham tidak nyaman, kepala basah penuh keringat menandakan ia kegerahan, dan kami tetap menghiburnya agar ia bisa bertahan dan tersenyum. Akhirnya setelah sampai di terminal Surakarta Abraham sedikit gumoh, untung saja tidak jacpot seperti yang saya takutkan.
Masih panjang, apalagi membayangkan jalan yang berkelok-kelok menanjak, dan sudut jalannya tak seperti di kawasan Puncak tetapi lebih tajan seperti hidung Petruk. Kami melanjutkan bus yang lebih kecil seperti kopaja atau metromini, menempuh perjalanan sekitas 1,5 jam, kepala saya agak sedikit pusing dan hampir tak tahan dengan kondisi jalan yang pelit akan jalur lurus, berkelok dan menjak membuat perut saya bak bumi yang gonjang ganjing. Ketika sampai diterminal Jatisrono kami menghubungi kerabat agar bisa menjemput kami, yang hampir tak berdaya, hahay tapi tetap happy loh, memang sesekali Abraham merengek, tetapi saya tidak panik dan melanjutkan dengan senyum.
Ada Bunga yang mekar |
Akhirnya sampai saya bisa meletakan seluruh pundak di kasur yang menunggu saya dirumah, disambut teh hangat dengan sapaan kangen yang sama hangatnya, lantas saya membasuh Abraham dengan air hangat sabun hingga bersih, memberikan minyak telon dan bedak dan klik sejenak ia tertidur, saya dan Papih juga ikut tertidur. Jatisrono merupakan tempat kelahiran Ibu saya, dan rumah yang kami kunjungi rumah Mbah atau Nenek yang sekarang di tinggali oleh Om beserta keluarganya, karena merupakan anak bungsu. Om juga ditugaskan untuk mengurus masjid yang terletak di depan rumah, setiap laki-laki dikeluarga kami diwajibkan untuk memberikan ceramah di Masjid tersbut jika berkunjung kesana, namun tidak berlaku bagi Papih, karena Papih merasa belum bisa berdiri didepan banyak orang, terlebih Jamaah di Masjid.
Masjid di depan rumah |
Kembali menatap pepohonan yang tinggi, sesekali saya melihat keluar, penuh dengan daun nan hijau, juga ada pohon randu. Bisa dijadikan kapuk untuk bantal, kasur ataupun guling, saya juga mencoba memisahkan kapuk dengan bijinya dengan alat sederhana, juga wadah yang dianyam dari bambu, selain itu papih ikut untuk panen mangga pada saat itu. Para tetangga bergantian datang untuk bersilahturahmi, dan rasa kekeluargaannya sangat terasa, hal sederhana bisa membuat kebahagiaan yang begitu hangat, indah, juga mendamaikan hati.
Bagaimana dengan Abraham ia sanagat senang sekali berlari di jalanan berbatu juga masih tanah, sesekali datang ke Masjid untuk melihat beduk yang konon berusia ratusan tahun. Abraham sudah bisa duduk sendiri dan mulai merangkak, usianya ^ bulan dan mulai menunjukan keaktifannya dengan sesekali belajar berdiri dengan memegang meja atau kursi, mulai bisa duduk tanpa bantuan, merangkak mengambil biskuit dan mainan. Abraham sangat senang selalu ditemani dengan suara tokek, burung, juga kadak, saya bermain dengan mengajaknya keluar menghirup udara asri yang belum tentu di Jakarta seasri ini.
Bermalam selama beberapa hari membuat saya mengingat harus kembali melanjutkan perjalanan, tentu saja bukan perjalanan pulang tapi melanjutkan lagi ke Surabaya, dengan Bus. Memang selama di Jatisrono kami tidak mengunjungi tempat wisana, karena bagi saya dan keluarga disana merupakan wisata hati buat kami bertiga, kami menjadi lebih dekat, mengerti tugas masing-masing juga memanjakan mata dengan pemandangan gunung juga swah hijau yang membentang luas. Selain itu saya mengunjungi makam Ayah yang merupakan Kakek dari Abraham, yang belum pernah ia lihat, mungkin saat ia besar ia tidak pernah bertemu secara fisik, tetapi saya yakin dengan saya menceritakan kehebatan dan kegigihan Kakeknya mereka akan dekat dalam batin.
Bersama Mbah Tatik |
Oia selain itu kami juga sesekali membantu Om yang berjualan sosis, dirumah juga merupakan distributor sosis untuk di salurkan ke desa-desa lain, dan Tante merupakan pelatih tari membuat saya semakin rindu akan sebuah gerak yang mampu memberikan makna hidup bagi saya dan pasti juga bermakna bagi pencipta, pelaku, serta penikmat. Saya melihat anak-anak kecil begitu serius dan bersungguh melakukan tiap gerakkan, walau ekspresi mereka masih malu-malu.
Perjalanan kami selanjutnya akan saya lanjutkan dipostingan berikutnya yah, karena nanti disana ada hal yang ditakutkan Abraham sampai ia menangis semalaman, bagaimana kami mengatasinya?? tunggu yah.
No Comments
Abraham lucuuu.. imutt.. jadi gemes.. 🙂
terimakasih…. hehehe
seperti kampung saya di jawa timur, masih asri dan hawanya segar
Anaknya lucu bangett mbaaakk
Iyah pak masih sejuk
Wahh terima kasih mak ?
jadi kangen Jogja
iyah selalu bikin kangen
Abraham lucunya..
itu jogja sebelah mana ya?
Perjalanan yang "adem" rasanya. Hmmm… cantik sekali itu mawar 🙂
si ganteng ngegemesin banget mbaa
aamiin aammiin aamiin, makasihh mak
iyah pas kebetulan sedang mekar
lumayan jauh mba dari Yogya mak… sekitar 3jam.. arah ke jawa timur,
itu yag foto "jalan menuju rumah kami" persis kayak jalan menuju rumah mbah kakungku di Klaten
Hai Abraham, salam kenal dari De Kizain 🙂
Aku baru mau ngajak Kizain travelling pertengahan ramadhan ini, mba. Tp jarak tempuhnya lumayan lama. 8 jam. Jadi deg deg an aku.
dulu ada rumah di Klaten, skrg sudah gak ada lgi huhuhu
kita naik kereta sikitar 8 jam, pernah naik kendaraan pribadi 14 jam, klo ortunya hepi anak akan hepi,logistik siap dan berdamai dgn perjalanan
Abraham kereeenn…kecil2 udah jalan2 teyus ^-^
hehehe, mumpung masih gampang di bopong
kebayang capenya. Tapi seruuu 🙂
Capenya ketutup sama seru nya mba..hehe
ADuh dedeknya imut-imut 😀
wahh terima kasihhh